Sabtu, 03 Januari 2015

Menemukan Tuhan


Tuhan adalah Fisika Kuantum?
Judul buku : Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama
Penulis : Ian G. Barbour
Penerbit : Mizan
Halaman :
"Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan Bumi."
--Kejadian I:1
"Tetapi, tak ada seorang pun yang melihatnya."
--Steven Weinberg, (The First Three Minutes, 1977)


Setiap kejadian menuntut suatu sebab. Tidak ada rangkaian tak terhingga dari sebab, sehingga mesti ada suatu "sebab pertama" bagi sesuatu. Dan sebab itu adalah Tuhan. Samuel Clarke dalam buku A Demonstration of the Being and Attributes of God (1978) menyatakan bahwa "tak ada yang lebih absurd daripada menduga bahwa sesuatu ada, bukannya tiada."

Keyakinan bahwa jagad raya sebagai keseluruhan mesti memiliki sebab, dan sebab itu adalah Tuhan, diucapkan pertama kali oleh Plato dan Aristoteles. Pemikiran sains-religius ini selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Aquinas serta mencapai bentuk yang meyakinkan oleh Gottfried Wilhelm van Leibniz dan Samuel Clarke pada abad ke-18. Pemikiran ini dikenal sebagai argumen kosmologis, yakni argumen kausal dan argumen kontingensi.

Argumen kosmologis dibicarakan dengan skeptisisme oleh David Hume dan Immanuel Kant, yang kemudian diserang secara sengit oleh Bertrand Russell. Sasaran argumen kosmologis berlapis dua. Pertama, menegakkan eksistensi "penggerak pertama", wujud yang menerangkan eksistensi dunia. Kedua, membuktikan bahwa wujud ini adalah Tuhan (God) sebagaimana dipahami oleh para teolog dalam doktrin Yudeo-Kristiani.

Dalam kehidupan, kita jarang meragukan bahwa seluruh kejadian alam semesta ini disebabkan dengan cara tertentu. Misalnya, sebuah jembatan ambruk karena jembatan tersebut kelebihan beban, salju mencair karena panas matahari, dan sebatang pohon tumbuh karena sebutir biji telah ditanamkan. Lalu, adakah sebuah benda tidak memiliki sebab?

Paul Davies, guru besar Fisika Teori pada Universitas New Castle-upon-Tyne, Inggris, dan penulis buku God and the New Physics (1987), menyatakan bahwa banyak ide baru bermunculan di garis depan fisika dasar: teori superstring dan pendekatan lain terhadap apa yang disebut Teori tentang Segala Sesuatu (Theories of Everything), dan kosmologi kuantum sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana alam semesta dapat muncul dari tiada (The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World, 1993).

Di samping itu, telah muncul perhatian luar biasa terhadap apa yang secara sederhana dapat dilukiskan sebagai titik-perjumpaan sains kontemporer dan agama. Pemikiran ini memperoleh dua bentuk yang berbeda. Pertama, dialog yang berkembang pesat antara ilmuwan, filsuf, dan teolog mengenai konsep penciptaan dan isu-isu terkait. Kedua, mode yang sedang berkembang dalam pemikiran mistik dan filsafat Timur, yang telah diklaim oleh beberapa komentator sebagai membuat kontak yang dalam dan bermakna dengan fisika dasar.

Kendati agama secara intrinsik memiliki unsur yang abadi, suci, dan final, pemahaman serta penafsiran atasnya bersifat terbuka dan manusiawi. Desakan untuk menafsirkan agama secara demikian itu semakin diintensifkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Sains dan teknologi telah memunculkan tantangan serius terhadap pandangan agama. Teologi klasik akan terlihat usang jika bersikeras mempertahankan doktrinnya tanpa mengupayakan tanggapan baru yang bersifat kreatif dan progresif.

Untuk itu, Profesor Ian G. Barbour, guru besar Fisika dan juga guru besar Teologi pada Carleton College, Amerika Serikat, mengajukan "teologi proses" sebagai jalan untuk mendobrak kebekuan pemikiran keagamaan dalam berinteraksi dengan sains kontemporer. Dengan mengambil ilham dari "filsafat proses" Whitehead, Barbour melalui buku Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama berupaya mengintegrasikan konsep sains kontemporer dengan agama. Dengan cara inilah, manusia diharapkan dapat lebih mengenal Tuhannya, alam semesta, dan hakikat dirinya sendiri, juga hubungan antara ketiganya.

Kekuatan buku ini terletak pada upaya penulis dalam mengintegrasikan karakteristik teori ilmiah yang fundamental dengan model pemahaman tentang Tuhan. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dengan agama. Menurutnya, antara sains dan agama terdapat empat varian hubungan: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam hubungan konflik, sains menegasikan eksistensi agama dan agama menegasikan sains. Masing-masing hanya mengakui keabsahan eksistensinya. Dalam hubungan independensi, masing-masing mengakui keabsahan eksistensi yang lain dan menyatakan bahwa di antara sains dan agama tak ada irisan satu sama lain. Dalam hubungan dialog, dia mengakui di antara sains dan agama terdapat kesamaan yang dapat didialogkan antara para ilmuwan (saintis) dan agamawan (teolog).

Dalam buku ini, Barbour mengkaji apakah sains kontemporer dapat memberikan 'kunci' yang akan membuka rahasia (gaib) dari pertanyaan besar yang telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun. Ia mengeksplorasi eksistensi Allah (God) dan evolusi, genetika dan kodrat manusia, neurosains dan inteligensi buatan; serta teologi, etika, dan lingkungan.

Dengan memetakan cara bagaimana teori dari ilmuwan, seperti Charles Darwin, Stuart Kauffman, Arthur Peacocke, Alfred North Whitehead, Terrence Deacon, Claude Levi-Strauss, Paul Tillich, James Watson, dan Keith Ward, Barbour telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta. Ia menempatkan penemuan para ilmuwan ini ke dalam konteks bersama dengan tulisan para filsuf, seperti Plato, Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.

Pemikiran sains kontemporer hingga teologi klasik dari para ilmuwan ini dicoba dipertemukan dan dipertentangkan satu sama lain dalam buku yang cukup memikat ini. Kesimpulannya yang mengejutkan kita adalah bahwa alam semesta bukanlah produk sampingan minor dari kekuatan tanpa pikiran dan tujuan. Kita sungguh berarti ada di sini. Dengan menggunakan sains kontemporer, kita dapat menemukan realitas Tuhan.

Menemukan Tuhan
Sebuah majalah di Amerika pernah menyatakan dalam headline: Astronomers Discover God! (Para Astronom Menemukan Tuhan!). Subyek artikel itu adalah Big Bang (Dentuman Besar) dan kemajuan mutakhir dalam pemahaman tentang penggalan waktu dari jagad raya. Fakta penciptaan itu sendiri dipandang memadai untuk mengungkapkan makna pernyataan: Tuhan menyebabkan penciptaan? Mungkinkah memahami penciptaan tanpa Tuhan?

Model biblikal tentang Allah adalah analog yang ditarik dari satu ranah pengalaman untuk menafsirkan peristiwa di dalam ranah pengalaman lain. Dalam Alkitab (Injil), ada pelbagai ragam model Allah. Dalam Kitab Kejadian, Allah dilukiskan sebagai perancang maha tahu yang memenangkan keteraturan (cosmos) atas kekacauan (chaos).

Teks biblikal lain melukiskan-Nya sebagai seorang perajin tanah liat yang sedang membentuk sebuah barang (Yeremia 18:6; Yesaya 64:8) atau arsitek yang membangun fondasi untuk sebuah bangunan (Ayub 38:4). Allah dibayangkan sebagai Tuhan dan Raja, yang memerintah baik atas alam maupun sejarah. Dalam Perjanjian Baru, Allah mencipta melalui Firman (Yohanes 1), sebuah istilah yang menyatukan ide Ibrani akan Firman Ilahi yang aktif dalam dunia dan pandangan Yunani akan firman (logos) sebagai prinsip rasional.

Kaum muslim memahami bahwa kegaiban Allah menyangkut salah satu sifat utama dan fundamental Allah. Kitab suci Al-Quran secara tegas dan deterministis--misalnya QS.10:101--memerintahkan umat manusia untuk mengkaji secara sistematis, cermat, dan sabar terhadap fenomena alam semesta. Allah Swt. berfirman: "Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia." (QS.2:117)
Semua ini adalah variasi yang kaya dari pelbagai ragam model Allah, yang masing-masingnya merupakan analog parsial dan terbatas, yang secara imajinatif menggarisbawahi cara pandang partikular akan relasi Allah dengan dunia (hlm. 228).

Pandangan ortodoks berpendapat bahwa Tuhan itu bukan zat. Logika ilmiah--sebagaimana pernah diungkap Friedrich Nietzsche, Clarke, Leibniz, Hume, Kant, dan Russell--menyatakan hanya ada tiga jenis zat, yakni zat padat, cair, dan gas. Selain itu tidak ada lagi. Tetapi ada sesuatu yang bukan zat yang selalu digunakan untuk memikirkan sesuatu, yaitu "pikiran" itu sendiri. Adakah yang mampu menggambarkan seperti apa wujud pikiran itu? Jika tidak ada, artinya ada "zat" yang tidak terbentuk zat seperti yang kita kenal.

Menurut para teolog, kehidupan merupakan mukjizat tertinggi dan kehidupan manusia merepresentasikan pencapaian yang teranugerahkan dari rancangan induk kosmis Tuhan. Bagi ilmuwan, kehidupan adalah fenomena paling menarik dalam alam semesta. Seratus tahun yang lalu, pokok persoalan tentang asal usul dan evolusi sistem kehidupan menjadi 'medan pertempuran' bagi bentrokan terbesar antara sains dan agama sepanjang sejarah kontemporer.

Teori evolusi Charles Darwin mengguncang fondasi doktrin Kristen dan lebih dari ungkapan lain apapun sejak Nicolaus Copernicus menempatkan Matahari pada pusat sistem tata surya. Konsep ini menyadarkan orang kebanyakan terhadap konsekuensi berjangkauan jauh dari analisis ilmiah. Sains kontemporer, demikianlah tampaknya, dapat mengubah keseluruhan perspektif manusia tentang diri dan relasinya dengan jagad raya.

Bibel menyatakan secara eksplisit bahwa kehidupan merupakan akibat langsung dari aktivitas Tuhan. Ia tidak muncul secara alamiah sebagai akibat proses fisik yang ditegakkan setelah penciptaan langit dan Bumi. Sebaliknya, Tuhan memilih untuk menghasilkan--melalui kekuasaan ketuhanan--mula-mula tumbuh-tumbuhan dan binatang, kemudian manusia. Tentu saja mayoritas umat Kristiani dan Yahudi mengakui hakikat alegoris dari "Kejadian" dan tidak berupaya membela versi Bibel dari asal-usul kehidupan sebagai fakta historis.

Fisika Kuantum
Ide tentang Tuhan Sang Pencipta, yang menyebabkan jagad raya dari kehendak bebas-Nya, berakar kuat dalam budaya Yudeo-Kristiani. Namun, kita telah melihat bagaimana asumsi semacam itu memunculkan problem lebih banyak ketimbang yang dapat diselesaikannya. Kesulitannya melibatkan persoalan tentang hakikat waktu dan ruang.

Jika waktu tercakup dalam jagad raya dan tunduk pada hukum fisika kuantum (quantum physics), ia harus dimasukkan dalam jagad raya yang Tuhan diduga telah menciptakannya. Tetapi apakah artinya mengatakan bahwa Tuhan menciptakan waktu, dalam kaitan dengan pemahaman suatu sebab harus mendahului efeknya? Kausasi adalah aktivitas temporal. Waktu harus telah eksis sebelum sesuatu dapat disebabkan. Gambaran naif tentang Tuhan yang eksis 'sebelum' jagad raya jelas absurd jika waktu tidak eksis--jika tidak ada 'sebelum'.

Argumen kontingensi akan jatuh menjadi korban kesuksesannya sendiri, seandainya kita memperluas definisi "jagad raya" yang mencakup Tuhan. Lalu, apakah penjelasan untuk Tuhan secara total plus jagad raya fisik yang mencakup ruang, waktu, dan materi? Para teolog akan menjawab: "Tuhan adalah wujud 'niscaya', tanpa memerlukan penjelasan. Tuhan memuat di dalam diri-Nya penjelasan tentang eksistensinya sendiri." Jika itu demikian, mengapa kita tidak dapat menggunakan argumen yang sama untuk menjelaskan jagad raya: Jagad raya 'niscaya', ia memuat di dalam dirinya alasan bagi eksistensinya sendiri?

Alam semesta yang kompleks tetapi teratur secara mengagumkan ini pasti memiliki suatu sistem pengatur yang lebih canggih dari hukum alam semesta itu sendiri. Akan tetapi, sistem pengatur tersebut bukan suatu pribadi yang dikenal dengan sebutan "Tuhan" (atau God/ dalam definisi Yudeo-Kristiani), sebab Tuhan tidak dapat menjadi yang paling perkasa jika Dia sendiri tunduk kepada hukum fisika kuantum mengenai waktu. Jika Tuhan tidak menciptakan waktu karena waktu melahirkan dirinya sendiri, tentunya Dia juga tidak pernah menjadi pencipta alam semesta. Kedua masalah tersebut saling bergantungan.

Sebagian ahli fisika karena terilhami oleh simplisitas hukum fundamental yang dimiliki alam semesta, telah berargumentasi bahwa boleh jadi hukum tertinggi (dalam hal ini adigaya) memiliki struktur matematis yang terdefinisi secara unik sebagai satu-satunya prinsip fisika yang konsisten secara logis. Katakanlah, fisika dinyatakan 'niscaya' sama halnya dengan Tuhan dinyatakan 'niscaya' oleh para teolog. Lalu, haruskan kita berkesimpulan bahwa "Tuhan adalah fisika kuantum" sebagaimana telah dilakukan oleh para filsuf seperti Plato?

Apakah yang dapat menjelaskan struktur ruang-waktu dan hukum fisika kuantum yang bahkan dapat menghasilkan suatu dunia yang cocok untuk hidup dan daya inteligensi? Keberatan utama Ian Barbour atas argumentasi ini lebih bersifat teologis daripada ilmiah. Walaupun argumen itu diterima, ia toh hanya mengarah ke Allah versi deisme, yang merancang-bangun alam semesta ini, lalu meninggalkannya berjalan sendiri-dan bukan Allah versi teisme yang terlibat secara aktif dalam dunia dan hidup manusia (hlm. 35).

Kalau kita mengandaikan bahwa "Allah mengendalikan semua ketidaktentuan," kita dapat mempertahankan ide tradisional tentang predestinasi. Ini lebih merupakan determinisme teologis daripada fisikal, sebab tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi secara kebetulan.

Sebuah pendapat alternatif mengatakan bahwa sebagian besar peristiwa kuantum terjadi secara kebetulan, tetapi "Allah memengaruhi beberapa di antaranya" tanpa melanggar hukum statistik dari fisika kuantum. Pandangan ini pun sesuai dengan bukti ilmiah (hlm. 83).

Sayangnya, pemikiran genial dari penulis buku Menemukan Tuhan ini dibatasi hanya pada teologi Kristen. Karena itu, buku ini dilengkapi pula dengan Pengantar dari sudut pandang (konsepsi) keimanan Islam yang ditulis Armahedi Mahzar, ilmuwan ITB Bandung.

Keimanan Islam kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Nabi SAW: "Dia (Allah SWT) satu; Dia nyata sekaligus gaib, pertama sekaligus terakhir, tak ada bandingan dan tak ada yang menyamai." Dan Al-Quran menegaskan, "Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS.20:50)

Konsepsi tentang Allah adalah inti dari seluruh keimanan, ajaran, dan praktik dalam doktrin keislaman. Pilar penyangga segenap bangunan Islam. Dengan konsepsi ini, kita dapat mengukur apakah dalam kehidupan ini pandangan, pemahaman, penilaian, dan sikap kita tentang kejadian alam semesta sudah benar atau masih menyimpang dari kebenaran. Konsepsi ini juga menetapkan batas kualitas kemanusiaan kita. Setidaknya upaya menyeimbangkan dengan konsepsi Islam--memadukan sains kontemporer dan agama ala Ian Barbour--melalui buku ini telah diupayakan, walaupun sangat sedikit dan dangkal.

Buku ini, selain merupakan dialog sains kontemporer dengan agama, diharapkan dapat membuka arah baru bagi dialog lintas-agama. Melalui buku ini, kita diajak berekreasi bersama logika dan nalar untuk mengetahui dan memahami eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Tidak berlebihan jika karya Profesor Ian Barbour ini menjadi rujukan penting dalam menemukan konsepsi Tuhan, dan memandu pembaca mencapai puncak ilmu.